Kamis, 05 Desember 2013

DAMPAK PERSAINGAN PEDAGANG TRADISIONAL DI PASAR SENTRAL KABUPATEN WAJO DENGAN PASAR MODERN



A.     Pendahuluan
Pasar merupakan tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi. Pasar selain menghubungkan antara penjual dan pembeli, fungsi pasar juga sebagai penghubung antara kebutuhan konsumen dan produsen yang memproduksi barang kebutuhan. Konsumen membutuhkan barang konsumsi yang disediakan oleh para produsen sedangkan produsen mendapat keuntungan dari hasil penjualan. Dalam konteksnya pasar dapat dibedakan atas pasar tradisional dan pasar modern.
Perkembangan perekonomian secara global tetap menempatkan pasar tradisonal merupakan sentra kegiatan yang sangat penting dalam bidang  perekonomian.  Meskipun predikat negatif telah  yang melekat pada pasar tradisional namun secara umum masyarakat masih cenderung mengunjungi pasar tradisional. Predikat negatif dilatarbelakangi oleh perilaku dari pedagang pasar, pengunjung atau pembeli dan pengelola pasar. Pasar sentral Sengkang Kabupaten Wajo merupakan pasar tradisional yang disediakan oleh pemerintah daerah telah turut menyumbangkan pendapatan asli daerah.
Selain sebagai tempat mendapatkan barang kebutuhan pokok oleh mayoritas penduduk yang terjangkau harganya, pasar tradisional merupakan indikator nasional dalam pergerakan tingkat kestabilan harga atau inflasi domestic yang dicatat oleh lembaga terkait seperti Dinas Perdagangan dan Statistik. Pasar tradisional juga masih menjadi media interaksi sosial yang kuat dalam masyarakat dan mekanisme transaksinya menggunakan metode tawar-menawar. Pasar tradisonal merupakan tempat kumpulan para pengusaha dan calon pengusaha menggunakan modal sendiri dalam memulai usahanya (Anonim, 2012).
Kekuatan pasar tradisional dapat dilihat beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut diantaranya harganya lebih murah dan bisa ditawar, dekat dengan permukiman dan memberikan banyak pilihan produk yang segar. Kelebihan lainnya adalah pengalaman berbelanja yang luar biasa, dimana kita bisa melihat dan memegang secara langsung produk yang umumnya masih sangat segar.
Latar belakang orang Wajo yang dikenal memiliki jiwa enterpreneurship yang tinggi berdampak pada tingginya motivasi mereka untuk mengembangkan usaha mereka yang berdampak pada tingginya persaingan para pedagang  khususnya pedagang pasar sentral Sengkang dengan beragam cara sehingga mereka dapat memperoleh hasil maksimal sesuai harapannya. Berdasarkan penelitian Lembaga Penelitian SMERU (Rahayubudi, 2013) terhadap pasar-pasar tradisional di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi serta Bandung diperoleh informasi bahwa pesaing terberat dari para pedagang pasar tradisional adalah sesama pedagang di dalam pasar, kemudian diikuti dengan berturut-turut supermarket dan para Pedagang Kaki Lima (PKL).
Banyak kajian yang menyebut pasar tradisional kini mengalami ancaman serius dari penetrasi dan ekspansi pusat perbelanjaan serta retail modern. Yang secara umum terdesaknya para pedagang pasar tradisional atau toko-toko lokal lainnya, disebabkan dalam bentuk menurunya omset penjualan barang dagangan. Namun sayangnya sampai dengan saat ini pun belum ada upaya serius dari berbagai banyak pihak, terutama dari pemerintah untuk mengantisipasi hal tersebut.
Dengan adanya penetrasi pasar modern secara makro ekonomi, tidak saja dapat mengancam pelaku pasar tradisional, tetapi termasuk juga kepelaku ekonomi pada sektor-sektor lainnya. Dari kondisi struktur perdagangan itu, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi persaingan usaha di Indonesia makin mengarah pada pola monopoli/oligopoli sebagai pengaruh daripada globalisasi ekonomi pasar bebas.
Kenyataan di Kabupaten Wajo dan khususnya kota Sengkang bahwa pusat perbelanjaan seperti swalayan telah ada sejak lama namun dikelola oleh warga lokal. Pada tahun 2012 maka kota sengkang bahkan beberapa kecamatan di kabupaten Wajo kini telah ada swalayan yang lebih modern.
Berdasarkan hal ini maka bagaiman keadaan pedagang pasar sentral sengkang sebagai pelaku ekonomi menghadapi persaingan dengan pelaku pasar modern dan langkah-langkah apa yang mereka tempuh  untuk mengatasi hal tersebut? Kebijakan apa yang harus ditempuh Pemerintah Kabupaten Wajo agar pasar tradisional tetap eksis?
 
B.     Kerangka Teoritis

1.         Filosofi Kabupaten Wajo
Dalam buku kabupaten Wajo dalam Angka 2012 tercantum bahwa masyarakat Wajo telah memiliki filosofi pemerintahan dan kemasyarakatan yang tercermin pada kedalaman kearifan budaya dan moral masyarakat Wajo sejak 600 tahun yang lalu yaitu sejak Wajo lahir pada tanggal 29 maret 1399. Filosofi tersebut terungkap dalam tiga kata yang selanjutnya  disebut dengan filosofi 3 S, yaitu Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge. Filosofi ini menjadi satu tatanan yang terpisahkan satu sama lain (Anonim, 2012).
Filosfi 3 S selanjutnya  diuraikan sebagai berikut:
1.    Sipakatau  (saling memanusiakan)
a.    Menghormati harkat dan martabat kemanusian seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
b.    Semua makhluk  disisi Tuhan Yang Maha Esa  adalah sama, yang membedakan adalah keimanan dan ketakwaan
2.    SipakalebbiI (saling memuliakan /menghargai)
a.    Menghargai posisi dan fungsi masing-masing di dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan
b.    Yang muda  menghormati yang tua, dan yang tua menyayangi yang mudah,yang sederajat saling menghormati dan menyayangi.
c.    Berprilaku dan berbicara sesuai norma (baik) yang di junjung tinggi oleh masyarakat dan pemerintah.
3.    Sipakainge (saling mengingatkan / demokrasi)
a.    Menghargai nasehat, saran, kritikan, posisi, dari siapapun
b.    Pengakuan bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan kekhilafan.
c.    Aparatur pemerintah dan masyarakat tidak lupuk dari kekurangan, kekhilafan dan diperlukan ke arifan untuk saling mengingatkan dan menyadarkan melalui mekanisme yang tidak lepas dari kearifan  Sipakatau dan Sipakalebbi.
2.         Kondisi Geografis Kabupaten Wajo
a.         Letak geografis
Secara geografis, Kabupaten Wajo terletak pada posisi 30 390-40 16 Lintang Selatan dan 1190530-120027 Bujur Timur, merupakan daaerah yang terletak ditengah-tengah Provinsi Sulawesi Selatan dan pada zone tengah yang merupakan suatu depresi yang memanjang pada arah laut tenggara dan terakhir merupakan suatu selat. Batas wilayah Kabupaten Wajo adalah :
a.      Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidenreng Rappang.
b.      Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone.
c.      Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng.
d.      Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Sidrap.
Luas wilayahnya adalah 2.506,19 Km2 atau 4,01% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dengan rincian penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah 87.975 ha (35.10%) dan lahan kering 162.644 ha (64.90%).
Sampai dengan akhir tahun 2011 wilayah Kabupaten Wajo tidak mengalami pemekaran, yaitu tetap terbagi menjadi 14 wilayah Kecamatan. Selanjutnya dari keempat-belas wilayah Kecamatan tersebut, wilayahnya dibagi lima menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil yang disebut desa atau kelurahan. Tetap sama dengan kondisi pada tahun 2008, wilayah Kabupaten Wajo terbentuk dari 48 wilayah yang berstatus Kelurahan dan 128 wilayah yang berstatus Desa. Jadi secara keseluruhan, wilayah Kabupaten Wajo terbagi menjadi 176 desa/kelurahan.
b.         Kondisi alam
Kondisi topografi di Kabupaten Wajo mempunyai kemiringan lahan cukup bervariasi mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit. Sebagian besar wilayahnya tergolong datar dengan kemiringan lahan/lereng 0 – 2 % luasnya mencapai 212,341 Ha atau sekitar 84 %, sedangkan lahan datar hingga bergelombang dengan kemiringan / lereng 3 – 15 % luas 21,116 Ha (8,43%), lahan yang berbukit dengan kemiringan / lereng diatas 16 – 40 % luas 13,752 Ha (5,50 %) dan kemiringan lahan diatas 40 % (bergunung) hanya memiliki luas 3,316 Ha (1,32%).
3.   Kondisi Demografis Kabupaten Wajo
Penduduk daerah di Kabupaten Wajo tahun 2011 sebanyak 386.173 jiwa, dan terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 185.148 jiwa dan penduduk perempuan 203.025 jiwa. Berdasarkan data penduduk ini sex raxio penduduk Kabupaten Wajo pada tahun 2011 sebesar 91,19 persen dan rata-rata laju pertumbuhan penduduknya dari tahun 2005 sampai 2011 sekitar 0,72 persen. Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo sebesar 154 jiwa/km2 dan hampir 99,4 persen beragama Islam.
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, maka kepadatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo pada tahun 2010 sebesar 154 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terdapat di kecamatan tempe dengan luas wilayah terkecil yaitu sebesar 1,597.10 per km2 , sedangkan kecamatan Keera dengan luas wilayah terbesar justru memiliki kepadatan terkecil yaitu sebesar 59.00 jiwa per km2.
4.   Definisi Pasar Tradisional
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual dan pembeli secara langsung. Dalam pasar tradisional terjadi proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar (Wikipedia, 2013).
Dalam ilmu ekonomi, pengertian pasar lebih dititikberatkan pada kegiatan jual belinya. Pasar dapat terbentuk di mana saja dan kapan saja (Kafrawi. 2012)
Syarat-syarat terbentuknya pasar:
1. Adanya penjual
2. Adanya pembeli
3. Adanya barang atau jasa yang diperjualbelikan
4. Terjadinya kesepakatan antara penjual dan pembeli
Pasar dimana para pembeli dan para penjual melakukan interaksi dapat dibedakan menjadi pasar komoditas dan pasar faktor. Pasar komoditas adalah interaksi anatara para pembeli dan paa penjual dari suatu komoditas dalam menentukan jumlah dan harga barang atau jasa yang diperjualbelikan. Sedangkan pasar faktor adalah interaksi antara para pengusaha (pembeli faktor-faktor produksi) dengan para pemilik faktor produksi untuk menentukan harga (pendapatan) dan jumlah faktor-faktor produksi yang akan digunakan dalam menghasilkan barang dan jasa yang diminta masyarakat.
Pasar sendiri memiliki tiga fungsi, yaitu: fungsi distribusi, fungsi pembentukan harga, dan fungsi promosi. Sedangkan menurut fisiknya, janis pasar dibedakan ke dalam pasar konkret dan pasar abstark. Pasar konkret merupakan tempat pertemuan antara pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi secara langsung. Barang yang dijual belikan juga tersedia di pasar tersebut. Sedangkan pasar abstrak merupakan pasar tidak nyata dimana transaksi antar penjual dan pembeli hanya dilakukan melalui telepon, internet, dll (Septian, 2012).
Padalah pasar yang dalam pelaksanaannya bersifat tradisional dan ditandai dengan pembeli serta penjual yang bertemu secara langsung. Proses jual-beli biasanya melalui proses tawar menawar harga, dan harga yang diberikan untuk suatu barang bukan merupakan harga tetap, dalam arti lain masih dapat ditawar, hal ini sangat berbeda dengan pasar modern.
Umumnya, pasar tradisional menyediakan bahan-bahan pokok serta keeprluan rumah tangga. Lokasi pasar tradisional dapat berada ditempat yang terbuka atau bahkan dipingir jalan. Ciri khas pasar tradisional adalah adanya tenda-tenda tempat penjual memasarkan dagangannya, serta pembeli yang berjalan hilir mudik untuk memilih dan menawar barang yang akan dibelinya.
Ciri-ciri pasar tradisional adalah proses jual-beli melalui tawar menawar harga, barang yang disediakan umumnya barang keperluan dapur dan rumah tangga, harga yang relatif lebih murah, area yang terbuka dan tidak ber-AC
5.   Profil Pasar Sentral Sengkang
Pasar sentral dibangun berlantai 3 di atas areal 120 x 50 meter. Bagunan ini terdiri atas 867 kios, 120 los, 4 pelataran, 1 mesjid, 1 ruang kantor pengelola pasar, 1 kantor koperasi. Demikian pula dilengkapi sarana umum seperti WC, dan tempat parkir .
Jenis-jenis komoditas dagangan yang paling dominan dan memempati areal yang luas adalah pakaian jadi, sandal dan sepatu, barang pecah belah. Komoditi seperti ayam potong, barang campuran, bahkan bahan makanan pokok dan sayuran hanya menempati areal sempit karena jumlah pedagang juga sedikit.
C.  Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data tentang pasar sentral Sengkang, maka penulis melakukan survei dan wawancara dengan Kepala Pengelola Pasar, pemilik kios dan los yang penulis pilih secara purposive sampling.








D.  Hasil dan Pembahasan

Sengkang yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Wajo letaknya kurang lebih 250 km dari Makassar Ibukota Provinsi SUlawesi Selatan sejak dulu dikenal sebagai kota niaga karena masyarakatnya yang sangat piawai dalam berdagang. Berbagai macam kebutuhan hidup seperti pakaian, sepatu, tas, barang elektronik, kain dan kain sarung bahkan kebutuhan pokok lainnya konon memiliki harga yang relatif murah jika dibandingkan di daerah lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika Sengkang menjadi salah satu kota dengan perputaran ekonomi yang sangat tinggi di Sulawesi Selatan. Hal ini tidak lepas dari peran kota Sengkang sebagai kota lalu lintas perdagangan sejak jaman dulu (Naing dkk, 2008)
Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan Kepala pengelola pasar sentral Sengkang wawancara A. Ashar bahwa dari 867 kios yang tersedia, yang terpakai 617 kios. Demikian pula los, dari 120 yang tersedia, terpakai 110. Dari keterangan kepala pengelola pasar bahwa jumlah pedagang dengan jenis komoditas yang diperdagangkan tidak tersedia secara rinci sehingga untuk mengidentifikasi jenis-jenis komoditi yang ada dipasar sentral tidak dapat diperoleh. Namun lebih lanjut A. Ashar menambahkan bahwa jenis komoditi yang paling banyak adalah pakaian jadi,diikuti pedagang sepatu dan sandal, kain sutera, diikuti barang pecah belah, ayam potong, bahan  campuran, ikan, dan terakhir sayur mayur.
Tenaga kerja yang terserap di pasar sentral Sengkang didominasi oleh perempuan dengan umur minimal 12 tahun. Setiap kios minimal mempekerjakan 2 orang penjaga, sedangkan los 1 orang untuk hari biasa. Namun jika menjelang hari raya maka jumlah tenaga kerja yang terserap untuk setiap kios bisa mencapai 4 orang. Jadi jumlah tenaga kerja setiap hari 1344 orang.
A.  Ashar  menyatakan bahwa di dalam pasar sentral Sengkang  telah terjadi pelanggaran ketenagakerjaan karena adanya pekerja dibawah 15 tahun yang bekerja. Hal ini karena tuntutan ekonomi keluarga dan para pemilik kios/pedagang tidak memiliki persyaratan ketika merekrut pekerjanya.
Hasil wawancara penulis dengan pemilik kios “stand Zuhri” bahwa
 “ komoditi yang paling dominan di pasar sentral ini adalah pakaian jadi hampir 50%. Baik pakaian orang dewasa maupun anak-anak. Demikian pula jenis tekstil lainnya seperti sutera, brokat dll.”
Lebih lanjut pemilik kios “Stand Zuhri” menyatakan bahwa
“ untuk memenuhi permintaan pasar, kami biasa dua kali dalam satu bulan langsung berbelanja ke Jakarta. Hal ini menjadikan pasar sentral Sengkang telah menjadi pusat belanja pakaian jadi, sutera dan bahan tekstil lainnya. Selain dikunjungi oleh masyarakat kabupaten Wajo juga dari masyarakat dari kabupaten Soppeng, Bone, Sidrap, bahkan dari Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Timur. Hal ini membuat kami para pedagang semakin giat mencari model yang baru. Bahkan untuk berbelanja model-model baru di Jakarta telah terjadwal setiap hari Senin dan Kamis akan ada model baru. Jika tidak sempat langsung ke Jakarta, maka kami memanfaatkan fasilitas telepon “BB” dengan langganan kami. Jadi kami hanya transfer uang dan menunggu barang yang telah dipesan.”
Masuknya swalayan di kota Sengkang dengan konsep modern telah membawa pula dampak negatif  terhadap keadaan pasar sentral Sengkang. Hal ini terlihat dari 250 kios yang tidak terpakai khususnya berdampak pada komoditi bahan campuran namun tidak berdampak pada pedagang komoditi sandang. Bahkan untuk jenis kain sutera menurut pemilik “Stand Sutera Indah” bahwa;
“setelah terjadinya kelesuan perdagangan sutera, kini sutera telah kembali menjadi jualan utama yang diminati masyarakat karena kain sutera yang dihasilkan oleh rumah produksi sutera tidak lagi ketinggalan jaman, namun telah mengikuti trend mode saat ini, kain sutera bukan lagi hanya dapat dibuat menjadi sarung namun dapat menjadi berbagai produk sesuai dengan keinginan pembeli.”
 Industri pertenunan sutera merupakan kegiatan yg paling banyak di geluti oleh pelaku persuteraan di Kabupaten Wajo, Hal ini di latar belakangi oleh prodik kain setera yang di hasilkan mempunyai nilai kegunaan yang di padukan dengan nilai estetika budaya setempat. Perpaduan nilai tersebut menghasilkan kerakteristik yang tersendiri yang mencirikan produk kain sutera khususnya sarung khas Sengkang ( lipa “ sabbe to sengkang = sarung sutera Sengkang).
Dalam perkembangannya pengrajin pertenunan Sutera bukan saja menghasilkan kain sarung tetapi sudah mampu memproduksi produk kain lain seperti kain motif teksture dalam bentuk kain puth dan warna, maupun kain yang di tenun dengan memadukan benang Sutera dengan bahan serat lainnya sehingga memberikan banyak pilihan bagi para peminat produk sutera. Sayangnya, hingga kini, produk natural yang membanggakan ini masih terganjal masalah pemasaran. Umumnya, barang-barang istimewa ini dijajakan oleh para perajinnya di pasar-pasar tradisional. Selebihnya, tak ada pilihan lain, kain-kain istimewa itu dijual dengan harga murah kepada pengusaha lokal. Para pengusaha itu yang kemudian mengeruk keuntungan besar dengan mamasarkannya ke mancanegara.Harga kain pun melambung, namun keuntungan besar didapat oleh pemodal.
Persaingan pedagang di pasar sentral Sengkang dengan swalayan yang semain marak tidak lantas membuat mereka surut langkah dalam berusaha dikarenakan orang Wajo dalam sejarah  hampir tak ada negeri yang tidak didatangi orang Wajo. Sampai ke ujung duniapun asalkan ada peluang bisnis dan iklim yang menjamin kebebasan berusaha orang Wajo akan datang. Perumpamaan itu tak lain untuk menunjukkan betapa sifat ke wiraswastaan (interpreneurship) telah mendarah daging pada setiap pribadi orang Wajo.Sifat ini dituntun pesan leluhur : aja mumaelo natunai sekke, naburuki labo (jangan terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat boros).(Anonim, 2012).
Berpegang pada Tellu Ampikalena To WajoE (tiga prinsip hidup), tau'E ri DewataE, siri'E ri padatta rupatau, siri'E ri watakkale (ketaqwaan kepada Allah SWT, rasa malu pad orang lain dan pada diri sendiri), orang Wajo memiliki etos kerja, resopa natinulu natemmangingngi, namalomo naletei pammase Dewata Seuwae (hanya dengan kerja keras, rajin, dan ulet, mendapat keridhaan Allah SWT).
Jika dibandingkan dengan statistik Badan Pusat Statistik Kabupaten Wajo tahun 2011 maka sektor pertanian menempati 38,65 persen menunjang roda ekonomi kabupaten Wajo kemudian diikuti oleh sektor perdagangan sebesar 21,78%. Hal ini sesuai dengan persentase penduduk angkatan kerja yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama kabupaten Wajo yang dilakukan oleh Susenas 2011 yakni 18,06% menggeluti sektor perdagangan.
Dalam konteks kehidupan masyarakat modern seperti sekarang, ukuran (kriteria) keberhasilan usaha seseorang tentu saja ditakar melalui kategori usaha yang lain pula. Sebut saja keberhasilan seseorang sekarang, dilihat dari aspek kepemilihan usaha (alat produksi) yang dikelola sendiri. Demikian pula operasionalnya, menggunakan (melibatkan) tenaga anak sendiri atau keluarga dekat. Kecenderungan memilih tenaga kerja yang berasal dari lingkungan keluarga sendiri, tentu tidak hanya refleksi dari falsafah hidup atau pesan pendahulu. Akan tetapi, mereka telah menyadari pentingnya pengkaderan atau pewarisan jiwa usaha kepada keturunan demi kontinuitas jenis usaha yang ditekuni.
Pentingnya usaha dan kerja keras untuk memperoleh hasil (rezeki), telah dikemukakan sejak masa Puang Ri Magalatung, Matoa Wajo (1491-1521), bahwa: “rezeki berasal dari Tuhan, tetapi rezeki itu haruslah dicari”. Karena itu, tidak heran jika di kalangan orang Bugis, memiliki sebuah motto yang hingga kini masih terus didengungkan yakni: “resopa temmangingi namallomo naletei pammase dewata” Ungkapan ini bermakna “hanya kerja keras dan sungguh-sungguh yang mendapat rahmat dari dewata/yang maha kuasa”.
Prinsip kerja keras tersebut, juga dikawal oleh pesan leluhur lain berbunyi: “aja mumaelo natunai sekke, naburuki labo” (jangan terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat boros). Karena itu, Orang Bugis Wajo pada umumnya memegang pada prinsip Tellu Ampikalena To Wajo,E (tiga prinsip hidup) yaitu: Tau’E ri Dewata, siri’E ripadata rupatau, siri’E watakkale (Ketakwaan pada Allah SWT, rasa malu pada orang lain dan pada diri sendiri). Zulkifli. (2013).
Dalam pemenuhan moodal bagi orang Wajo, sejak Arung Matowa La Salewangeng berkuasa, telah berupaya menghidupkan iklim yang sehat untuk berinvestasi. Untuk itu, dibuatlah “Geddong” yaitu semacam koperasi tempat simpan pinjam, dimana rakyat diberi modal untuk berusaha baik didalam dan diluar Wajo. Akibatnya adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat Wajo. Dengan demikian, terjadi penguatan ekonomi pada lapis menengah, sehingga ketimpangan sosial antara kelas bangsawan dan tau maradeka menjadi tipis bahkan hilang pada saat ini. Secara simpel bisa dikatakan awal dari pelekatan istilah “padangkang” pada orang Wajo dimulai pada era ini (Anonim, 2011).
Untuk dapat mempertahankan keberadaan pasar sentral Sengkang, maka pemerintah kabupaten Wajo:
1.      Membuat program khusus yang menjadikan pasar sentral Sengkang sebagai pusat grosir pakaian jadi dan sutera.
2.      Melakukan pendataan secara berkala tentang jumlah pedagang dan jenis komoditi yang ada di pasar sentral Sengkang
3.      Memberikan pembinaan yang lebih intensif kepada pengrajin sutera dan kesempatan yang memdahkan untuk mengembangkan usaha.
4.      Melakukan pelatihan pendidikan lingkungan bagi para pedagang pasar sentral Sengkang agar dapat menciptakan lingkungan pasar yang bersih dan nyaman bebas dari kesan kumuh
5.      segera membuat Perda yang mengatur pasar modern diantaranya zona dan jarak minimum lokasi swalayan dengan pasar, pembatasan jumlah swalayan, pembatasan jam kerja, sangsi bagi yang melanggar.
E.     Kesimpulan
Pedagang pasar sentral Sengkang Kabupaten Wajo telah mengalami dampak persaingan dengan masuknya pasar modern (swalayan) khususnya bagi pedagang campuran. Adapun pedagang yang menjual komoditi seperti sutera, pakaian jadi, sepatu dan sandal, belum terkena dampaknya.


Ucapan Terima Kasih
 Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada Bapak Professor Dr. Sapto Haryoko atas bimbingan dan arahannya kepada penulis yang masih mengikuti matrikulasi namun telah diberi kesempatan menuangkan ide menulis karya ilmiah. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh rekan-rekan peserta matrikulasi S3 PKLH 2013 yang selalu kompak dan bersemangat.



















DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. Kabupaten Wajo dalam Angka 2012. Sengkang:Agung
Anonim.2011. relevansi nilai lokal bugis wajo dalam pembangunan
Anonim, 2012. Adat Pernikahan Di Wajo Sulawesi Selatan. http://penamerah28.blogspot.com 13 Juli 2013
Kafrawi Asmil. 2012. Pengertian , Fungsi, Bentuk dan Peranan Pasar. http://bozzkaf.blogspot.com. 13 Juli 2013
Rahayubudi, 2013. Kapan Pelanggan Tiddak meninggalkan pedagang tradisonal. http://pasarkutradisional.blogspot.com. 13 Juli 2013
Rangga Septian. 2012. Pengertian Pasar dan Pemasaran http://septianranggaa.blogspot.com/2012/12/14 Juli 2013
Naig, Naidah dkk, 2008. Wajo dalam Perspektif Arsitektur. Pustaka Refleksino.
http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/22/relevansi-nilai-lokal-bugis-wajo-dalam-pembangunan-349452.html
Zulkifli. 2013. Falsafah Hidup Orang Bugis. http://dunia-kampus-sanggar-seni-panrita.blogspot.com . 13 Juli 2013