Penulis: Andi Asdariah
A. Pendahuluan
Cinta sulit dibayangkan kalau hanya dijelaskan dengan kata-kata apalagi ditafsirkan. Rasa cinta tidak perlu ditafsirkan maupun diuraikan menurut tata bahasa sastra tinggi karena akan semakin jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Cinta tidak bisa dipahami oleh akal pikiran tetapi hanya bisa dirasakan oleh cinta itu sendiri. Mungkin kita bisa memahami orang bercinta, tetapi tidak bisa memahami ukuran cinta yang ingin diterapkan sebagai satu kepastian. Cinta bukanlah sesuatu yang pasti, tidak bisa diukur apalagi diformulasikan dalam bentuk standar.
Cinta bukan sebuah fragmen kehidupan. Cinta… kita tidak bisa menjelaskan dan mendefenisikannya. Untuk dapat memahami cinta maka masuklah ke dalamnya, maka Anda akan menjadi cinta itu sendiri. Cinta akan bercerita dengan bahasa tanpa huruf, tanpa suara, bahkan dengan bunga, dengan rumah, dengan bahasa apa saja yang penting orang tahu itu adalah bahasa cinta yang bisa dimengerti oleh semua makhluk.
Menurut KH. Toto Tasmara (2001) bahwa, cinta adalah sesuatu yang kita alami dengan penuh getaran jiwa, dia tidak bisa dimengerti hanya dengan intelektual. Cinta berkaitan dengan perasaan yang paling halus. Perasaan cinta adalah perasaan ruhani, bukan perasaan indrawi atau perasaan vitalis nafsiyah (perasaan indrawi berkaitan dengan saraf yang merasaklan sakit, pahit, dll). Perasaan vitalis masih bersentuhan dengan saraf, tetapi lebih menyeluruh, lebih merangkum seluruh citra rasa indrawi seperti segar, bugar, lelah, atau bersemangat. Karena cinta berpangkal dari perasaan ruhani maka ia bisa mengungguli perasaan indrawi dan vitalitas. Orang bisa merasa lelah, lapar, dan sedih (indra vital), tetapi segera sirna seluruh perasaan itu ketika cinta yang mendera rindu menampakkan dirinya, Dia bangkit melupakan segala perasaan atau atribut lainnya. Inilah keajaiban cinta tidak ada ukuran objektif untuk mengukur materi cinta.
Menurut Aristoteles dalam ilmu psikologi bahwa”setiap individu punya unsur-unsur dalam kehidupan yang sering disebut anima alias jiwa” . Ada tiga macam anima, yaitu anima vegetative, anima sensitive, dan anima intelektiva. Cinta tergolong anima sensitive yang mengurusi manusia untuk berpindah tempat dan punya perilaku instingtif, yaitu perilaku yang bersumber pada naluri hati setiap manusia/makhluk dimuka bumi ini (Widianti, 2007).
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dinyatakan bahwa
“Perumpamaan orang-orang muslim dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan, mereka laksana satu tubuh. Jika ada satu anggotanya yang sakit, semua anggota tubuhnya akan mengeluh karena demam dan tidak bisa tidur.”
Ada tiga tipe dasar fondasi hubungan yang akrab (intimate relationship) atas nama cinta. Tiga tipe dasar tersebut, yaitu cinta persahabatan, cinta seksualitas, dan cinta kasih ( Papila, Olds, Feldman dalam Widianti, 2007).
Cinta berada dalam segala aspek kehidupan manusia bahkan tak ada yang terlepas dari cinta termasuk dalam dunia pendidikan. Keberadaan cinta dalam dunia pendidikan dikarenakan yang menjadi pelaku utama adalah guru dengan peserta didik. Keduanya terlibat dalam suatu hubungan interaksi yang saling mempengaruhi satu sama lain yakni kegiatan belajar mengajar.
B. Perlunya Cinta Guru pada Siswa
Pembelajaran konvensional dalam kenyataan di sekolah-sekolah, proses belajar mengajar lebih menekankan transfer of knowledge. Kebanyakan guru dan juga orang tua sudah merasa puas kalau anak didik mendapatkan nilai baik pada hasil ulangannya. Jadi yang penting adalah kecerdasan otaknya, bagaimana perilaku dan sikap mental anak didik jarang mendapatkan perhatian secara serius. Jadi pengajaran terbatas pada aspek kognitif dan jarang sampai pada afektif yang melibatkan emosional siswa.
Dalam hubungan ini, betapa banyak kasus kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita yang mengindikasikan bergesernya nilai-nilai moral. Kampus di rusak bahkan dibakar oleh mahasiswanya sendiri. Yang menarik adalah pengalaman seorang guru dalam mobil angkutan umum bersama siswanya. Ketika sang guru turun seketika siswa mengacungkan kepalan tangannya kearah gurunya. Bahkan seorang guru dikeroyok oleh siswanya karena nilai rapor jelek atau tidak naik kelas.
Kasus dan kejadian seperti contoh di atas, sebagai petunjuk atau akibat dari “mengajar” yang hanya menekankan transfer of knowledge, dan subjek hanya seolah-olah hanya membutuhkan pengetahuan saja. Padahal tujuan esensial belajar adalah disamping mendapatkan pengetahuan, juga untuk meningkatkan keterampilan dan pembinaan mental. Dengan demikian, maka proses pembelajaran tidak hanya “mengajar” tetapi harus sekaligus “mendidik”.
“Mendidik” diartikan secara komperehensif, yakni usaha membina diri anak didik secara utuh, baik aspek kognitif, psikomotorik, maupun aspek afektif, agar tumbuh sebagai manusia yang berkepribadian. Untuk sampai pada tujuan ini maka mendidik harus merupakan usaha untuk memberikan motivasi kepada anak didik agar terjadi proses internalisasi nilai-nilai pada dirinya, sehingga akan lahir sikap yang baik.
Guru dalam proses belajar mengajar memiliki multiperan, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Apabila dikelompokkan terdapat tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Dalam bidang kemanusiaan di sekolah guru bertugas sebagai pengganti orang tua . Dalam bidang masyarakat guru berkewajiban mencerdaskan bangsa menuju pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.
C. Implementasi Cinta Guru dalam Kelas
Kegiatan belajar mengajar merupakan peristiwa terjadinya komunikasi yang terjadi antara guru dengan siswa maupun antar siswa dengan siswa. Hal ini mengisyaratkan akan adanya hubungan yang harus harmonis diantara mereka sehingga pembelajaran yang menyenangkan dan melibatkan semua komponen belajar mengajar menjadi lebih efektif dan menyenangkan.
Hubungan yang harmonis akan lahir dari rasa kasih sayang yang tulus. Tugas guru sebagai pengganti orang tua seyogyanya memiliki perasaan yang dalam serta mencurahkan cinta kasih dan sayangnya. Peran guru sebagai orang tua kepada anaknya mengungkapan cinta melalui pemahaman akan diri siswa, motivasi, bimbingan, dan didikan dengan sepenuh hati.
Pengungkapan cinta menurut Erich Fromm dalam Widianti (2007), bahwa terdapat empat unsure yang mempengaruhi pengungkapan cinta yaitu: care (perhatian), responsibility (tanggungjawab), respect (hormat), knowledge (pengetahuan). Sementara dalam Islam, ada tiga hal yang menyebabkan timbulnya perasaan cinta dalam diri seseorang. Bila ketiga hal ini menguat dan sempurna, cinta akan menjadi kuat dan mengakar. Ketiga hal tersebut adalah: 1) sifat-sifat yang dimiliki seseorang membuat ia dicintai, 2) perhatian terhadap sifat-sifat yang dimiliki seseorang, 3) keserasian antara orang yang mencintai.
Belajar melibatkan semua aspek kehidupan manusia-pikiran, perasaan dan bahasa tubuh di samping pengetahuan, sikap dan keyakinan sebelumnya serta persepsi masa mendatang. Dengan demikian karena belajar berurusan dengan orang secara keseluruhan dalam hal ini adalah siswa, maka untuk memudahkan belajar guru harus melibatkan sisi emosional siswa.
Dalam pembelajaran, memahami emosi siswa akan dapat membuat pembelajaran lebih berarti dan permanent. Kunci membangun ikatan emosional tersebut adalah dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar.
Menumbuhkan sisi emosional siswa dalam belajar akan sangat mempengaruhi memori dan ingatan mereka akan bahan-bahan yang dipelajari. Ilmuwan saraf, Dr. Josepph LeDoux, mengemukakan bahwa amigdala merupakan pusat emosi otak, memainkan peran besar dalam menyimpan memori.
“…..perangsangan amigdala agaknya lebih kuat mematrikan kejadian dengan perangsangan emosional dalam memori…. Karena itulah kita lebih mudah mengingat, misalnya tempat kencan pertama kita, atau apa yang sedang kita lakukan saat mendengar berita pesawat ulangalik Challenger meledak. Semakin kuat rangsangan amigdala, semakin kuat pula pematrian dalam memori.” (LeDoux,1994 dalam DePorter 2007).
Untuk menarik keterlibatan siswa, guru harus membangun hubungan, yaitu dengan jalan rasa simpati dan saling pengertian. Hubungan akan membangun jembatan menuju kehidupan-bergairah siswa, membuka jalan memasuki dunia-baru mereka, mengetahui minat-kuat mereka, berbagi kesuksesan-puncak mereka, dan berbicara dengan bahasa-hati mereka.
Membangun hubungan dan keamanan memerlukan niat, kasih sayang, saling pengertian yang semuanya lahir dari rasa cinta. Dalam hubungan yang sehat, kita akan menghormati dan menghargai orang yang kita cintai.
Untuk merealisasikan cinta guru kepada siswa, maka guru akan berusaha memberikan yang terbaik kepada siswa melalui berbagai metode pembelajaran yang mengacu pada pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan (PAKEM).
Penyajian pembelajaran yang melibatkan siswa dalam aktivitas penting, membantu mereka mangaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para siswa melihat makna dalam setiap tugas-tugas mereka.
Pencarian makna merupakan hal alamiah. Menurut psikolog, Viktor E. Frank,
”Kita dapat menemukan… makna di dalam hidup dengan tiga cara yang berbeda: (1) dengan menciptakan pekerjaan atau melalui tindaka; (2) … dengan menghayati sesuatu, misalnya alam dan kebudayaan atau, … dengan menghadapi … manusia lain dalam keunikannya-dengan mencintainya …: [dan] (3) melalui sikap kita menghadapi penderitaan yang tak terelakkan … Makna masih bisa terdapat di dalam penderitaan sekalipun” (Frankl dalam Johnson, E.B. 2007).
Dengan demikian hubungan antara guru dengan siswa yang dilandasi oleh cinta akan membuat pembelajaran lebih menyenangkan sehingga siswa mampu mencapai hasil belajar yang lebih baik. Namun tak hanya nilai bagus yang akan diperoleh, sikap, mental dan kepribadian yang terpuji akan terbentuk. Seluruh aspek penilaian seperti kognitif, psikomotor dan afektif akan tercapai.
Jadi perasaan cinta guru kepada siswanya mutlak harus dimiliki oleh seorang guru yang dapat diwujudkan dengan jalan menjalin hubungan yang harmonis dengan siswa melalui pendekatan emosional siswa.
Dengan cinta yang terpatri dalam diri seorang guru maka dengan sendirinya akan memunculkan guru yang professional sesuai dengan semboyan “Tut wuri handayani” yang menjadi slogan dunia pendidikan Indonesia.
D. Kesimpulan:
Cinta guru adalah sebuah perasaan afeksi terhadap siswanya yang dilakukan dengan melalui kegiatan mendidik berupa empati, perhatian, memberikan kasih sayang, dan membantu kesulitan siswa untuk mencapai hasil belajar yang baik.
E. Sumber:
DePorter, Bobbi. 2007. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning Di Ruang-Ruang Kelas (terjemahan). Bandung: Kaifah
Johnson EB. 2007. CTL:Menjadikan Kegiatan Pembelajaran Mengasyikkan Dan Bermakna (Terjemahan). Bandung: Mizan Learning Centre.
KH. Toto Tasmara. 2001. Kecerdasan Ruhani. Jakarta: Gema Insani
Widianti D.2007. Ensiklopedi Cinta. Bandung: Dar! Mizan
A. Pendahuluan
Cinta sulit dibayangkan kalau hanya dijelaskan dengan kata-kata apalagi ditafsirkan. Rasa cinta tidak perlu ditafsirkan maupun diuraikan menurut tata bahasa sastra tinggi karena akan semakin jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Cinta tidak bisa dipahami oleh akal pikiran tetapi hanya bisa dirasakan oleh cinta itu sendiri. Mungkin kita bisa memahami orang bercinta, tetapi tidak bisa memahami ukuran cinta yang ingin diterapkan sebagai satu kepastian. Cinta bukanlah sesuatu yang pasti, tidak bisa diukur apalagi diformulasikan dalam bentuk standar.
Cinta bukan sebuah fragmen kehidupan. Cinta… kita tidak bisa menjelaskan dan mendefenisikannya. Untuk dapat memahami cinta maka masuklah ke dalamnya, maka Anda akan menjadi cinta itu sendiri. Cinta akan bercerita dengan bahasa tanpa huruf, tanpa suara, bahkan dengan bunga, dengan rumah, dengan bahasa apa saja yang penting orang tahu itu adalah bahasa cinta yang bisa dimengerti oleh semua makhluk.
Menurut KH. Toto Tasmara (2001) bahwa, cinta adalah sesuatu yang kita alami dengan penuh getaran jiwa, dia tidak bisa dimengerti hanya dengan intelektual. Cinta berkaitan dengan perasaan yang paling halus. Perasaan cinta adalah perasaan ruhani, bukan perasaan indrawi atau perasaan vitalis nafsiyah (perasaan indrawi berkaitan dengan saraf yang merasaklan sakit, pahit, dll). Perasaan vitalis masih bersentuhan dengan saraf, tetapi lebih menyeluruh, lebih merangkum seluruh citra rasa indrawi seperti segar, bugar, lelah, atau bersemangat. Karena cinta berpangkal dari perasaan ruhani maka ia bisa mengungguli perasaan indrawi dan vitalitas. Orang bisa merasa lelah, lapar, dan sedih (indra vital), tetapi segera sirna seluruh perasaan itu ketika cinta yang mendera rindu menampakkan dirinya, Dia bangkit melupakan segala perasaan atau atribut lainnya. Inilah keajaiban cinta tidak ada ukuran objektif untuk mengukur materi cinta.
Menurut Aristoteles dalam ilmu psikologi bahwa”setiap individu punya unsur-unsur dalam kehidupan yang sering disebut anima alias jiwa” . Ada tiga macam anima, yaitu anima vegetative, anima sensitive, dan anima intelektiva. Cinta tergolong anima sensitive yang mengurusi manusia untuk berpindah tempat dan punya perilaku instingtif, yaitu perilaku yang bersumber pada naluri hati setiap manusia/makhluk dimuka bumi ini (Widianti, 2007).
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dinyatakan bahwa
“Perumpamaan orang-orang muslim dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan, mereka laksana satu tubuh. Jika ada satu anggotanya yang sakit, semua anggota tubuhnya akan mengeluh karena demam dan tidak bisa tidur.”
Ada tiga tipe dasar fondasi hubungan yang akrab (intimate relationship) atas nama cinta. Tiga tipe dasar tersebut, yaitu cinta persahabatan, cinta seksualitas, dan cinta kasih ( Papila, Olds, Feldman dalam Widianti, 2007).
Cinta berada dalam segala aspek kehidupan manusia bahkan tak ada yang terlepas dari cinta termasuk dalam dunia pendidikan. Keberadaan cinta dalam dunia pendidikan dikarenakan yang menjadi pelaku utama adalah guru dengan peserta didik. Keduanya terlibat dalam suatu hubungan interaksi yang saling mempengaruhi satu sama lain yakni kegiatan belajar mengajar.
B. Perlunya Cinta Guru pada Siswa
Pembelajaran konvensional dalam kenyataan di sekolah-sekolah, proses belajar mengajar lebih menekankan transfer of knowledge. Kebanyakan guru dan juga orang tua sudah merasa puas kalau anak didik mendapatkan nilai baik pada hasil ulangannya. Jadi yang penting adalah kecerdasan otaknya, bagaimana perilaku dan sikap mental anak didik jarang mendapatkan perhatian secara serius. Jadi pengajaran terbatas pada aspek kognitif dan jarang sampai pada afektif yang melibatkan emosional siswa.
Dalam hubungan ini, betapa banyak kasus kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita yang mengindikasikan bergesernya nilai-nilai moral. Kampus di rusak bahkan dibakar oleh mahasiswanya sendiri. Yang menarik adalah pengalaman seorang guru dalam mobil angkutan umum bersama siswanya. Ketika sang guru turun seketika siswa mengacungkan kepalan tangannya kearah gurunya. Bahkan seorang guru dikeroyok oleh siswanya karena nilai rapor jelek atau tidak naik kelas.
Kasus dan kejadian seperti contoh di atas, sebagai petunjuk atau akibat dari “mengajar” yang hanya menekankan transfer of knowledge, dan subjek hanya seolah-olah hanya membutuhkan pengetahuan saja. Padahal tujuan esensial belajar adalah disamping mendapatkan pengetahuan, juga untuk meningkatkan keterampilan dan pembinaan mental. Dengan demikian, maka proses pembelajaran tidak hanya “mengajar” tetapi harus sekaligus “mendidik”.
“Mendidik” diartikan secara komperehensif, yakni usaha membina diri anak didik secara utuh, baik aspek kognitif, psikomotorik, maupun aspek afektif, agar tumbuh sebagai manusia yang berkepribadian. Untuk sampai pada tujuan ini maka mendidik harus merupakan usaha untuk memberikan motivasi kepada anak didik agar terjadi proses internalisasi nilai-nilai pada dirinya, sehingga akan lahir sikap yang baik.
Guru dalam proses belajar mengajar memiliki multiperan, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Apabila dikelompokkan terdapat tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Dalam bidang kemanusiaan di sekolah guru bertugas sebagai pengganti orang tua . Dalam bidang masyarakat guru berkewajiban mencerdaskan bangsa menuju pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.
C. Implementasi Cinta Guru dalam Kelas
Kegiatan belajar mengajar merupakan peristiwa terjadinya komunikasi yang terjadi antara guru dengan siswa maupun antar siswa dengan siswa. Hal ini mengisyaratkan akan adanya hubungan yang harus harmonis diantara mereka sehingga pembelajaran yang menyenangkan dan melibatkan semua komponen belajar mengajar menjadi lebih efektif dan menyenangkan.
Hubungan yang harmonis akan lahir dari rasa kasih sayang yang tulus. Tugas guru sebagai pengganti orang tua seyogyanya memiliki perasaan yang dalam serta mencurahkan cinta kasih dan sayangnya. Peran guru sebagai orang tua kepada anaknya mengungkapan cinta melalui pemahaman akan diri siswa, motivasi, bimbingan, dan didikan dengan sepenuh hati.
Pengungkapan cinta menurut Erich Fromm dalam Widianti (2007), bahwa terdapat empat unsure yang mempengaruhi pengungkapan cinta yaitu: care (perhatian), responsibility (tanggungjawab), respect (hormat), knowledge (pengetahuan). Sementara dalam Islam, ada tiga hal yang menyebabkan timbulnya perasaan cinta dalam diri seseorang. Bila ketiga hal ini menguat dan sempurna, cinta akan menjadi kuat dan mengakar. Ketiga hal tersebut adalah: 1) sifat-sifat yang dimiliki seseorang membuat ia dicintai, 2) perhatian terhadap sifat-sifat yang dimiliki seseorang, 3) keserasian antara orang yang mencintai.
Belajar melibatkan semua aspek kehidupan manusia-pikiran, perasaan dan bahasa tubuh di samping pengetahuan, sikap dan keyakinan sebelumnya serta persepsi masa mendatang. Dengan demikian karena belajar berurusan dengan orang secara keseluruhan dalam hal ini adalah siswa, maka untuk memudahkan belajar guru harus melibatkan sisi emosional siswa.
Dalam pembelajaran, memahami emosi siswa akan dapat membuat pembelajaran lebih berarti dan permanent. Kunci membangun ikatan emosional tersebut adalah dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar.
Menumbuhkan sisi emosional siswa dalam belajar akan sangat mempengaruhi memori dan ingatan mereka akan bahan-bahan yang dipelajari. Ilmuwan saraf, Dr. Josepph LeDoux, mengemukakan bahwa amigdala merupakan pusat emosi otak, memainkan peran besar dalam menyimpan memori.
“…..perangsangan amigdala agaknya lebih kuat mematrikan kejadian dengan perangsangan emosional dalam memori…. Karena itulah kita lebih mudah mengingat, misalnya tempat kencan pertama kita, atau apa yang sedang kita lakukan saat mendengar berita pesawat ulangalik Challenger meledak. Semakin kuat rangsangan amigdala, semakin kuat pula pematrian dalam memori.” (LeDoux,1994 dalam DePorter 2007).
Untuk menarik keterlibatan siswa, guru harus membangun hubungan, yaitu dengan jalan rasa simpati dan saling pengertian. Hubungan akan membangun jembatan menuju kehidupan-bergairah siswa, membuka jalan memasuki dunia-baru mereka, mengetahui minat-kuat mereka, berbagi kesuksesan-puncak mereka, dan berbicara dengan bahasa-hati mereka.
Membangun hubungan dan keamanan memerlukan niat, kasih sayang, saling pengertian yang semuanya lahir dari rasa cinta. Dalam hubungan yang sehat, kita akan menghormati dan menghargai orang yang kita cintai.
Untuk merealisasikan cinta guru kepada siswa, maka guru akan berusaha memberikan yang terbaik kepada siswa melalui berbagai metode pembelajaran yang mengacu pada pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan (PAKEM).
Penyajian pembelajaran yang melibatkan siswa dalam aktivitas penting, membantu mereka mangaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para siswa melihat makna dalam setiap tugas-tugas mereka.
Pencarian makna merupakan hal alamiah. Menurut psikolog, Viktor E. Frank,
”Kita dapat menemukan… makna di dalam hidup dengan tiga cara yang berbeda: (1) dengan menciptakan pekerjaan atau melalui tindaka; (2) … dengan menghayati sesuatu, misalnya alam dan kebudayaan atau, … dengan menghadapi … manusia lain dalam keunikannya-dengan mencintainya …: [dan] (3) melalui sikap kita menghadapi penderitaan yang tak terelakkan … Makna masih bisa terdapat di dalam penderitaan sekalipun” (Frankl dalam Johnson, E.B. 2007).
Dengan demikian hubungan antara guru dengan siswa yang dilandasi oleh cinta akan membuat pembelajaran lebih menyenangkan sehingga siswa mampu mencapai hasil belajar yang lebih baik. Namun tak hanya nilai bagus yang akan diperoleh, sikap, mental dan kepribadian yang terpuji akan terbentuk. Seluruh aspek penilaian seperti kognitif, psikomotor dan afektif akan tercapai.
Jadi perasaan cinta guru kepada siswanya mutlak harus dimiliki oleh seorang guru yang dapat diwujudkan dengan jalan menjalin hubungan yang harmonis dengan siswa melalui pendekatan emosional siswa.
Dengan cinta yang terpatri dalam diri seorang guru maka dengan sendirinya akan memunculkan guru yang professional sesuai dengan semboyan “Tut wuri handayani” yang menjadi slogan dunia pendidikan Indonesia.
D. Kesimpulan:
Cinta guru adalah sebuah perasaan afeksi terhadap siswanya yang dilakukan dengan melalui kegiatan mendidik berupa empati, perhatian, memberikan kasih sayang, dan membantu kesulitan siswa untuk mencapai hasil belajar yang baik.
E. Sumber:
DePorter, Bobbi. 2007. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning Di Ruang-Ruang Kelas (terjemahan). Bandung: Kaifah
Johnson EB. 2007. CTL:Menjadikan Kegiatan Pembelajaran Mengasyikkan Dan Bermakna (Terjemahan). Bandung: Mizan Learning Centre.
KH. Toto Tasmara. 2001. Kecerdasan Ruhani. Jakarta: Gema Insani
Widianti D.2007. Ensiklopedi Cinta. Bandung: Dar! Mizan