A. Pendahuluan
Pasar merupakan tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk melakukan
transaksi. Pasar
selain menghubungkan antara penjual dan pembeli, fungsi pasar juga sebagai
penghubung antara kebutuhan konsumen dan produsen yang memproduksi barang
kebutuhan. Konsumen membutuhkan barang konsumsi yang disediakan oleh para
produsen sedangkan produsen mendapat keuntungan dari hasil penjualan. Dalam
konteksnya pasar dapat dibedakan atas pasar tradisional dan pasar modern.
Perkembangan perekonomian secara
global tetap menempatkan pasar tradisonal merupakan sentra kegiatan yang sangat
penting dalam bidang perekonomian. Meskipun predikat negatif telah yang melekat pada pasar tradisional namun
secara umum masyarakat masih cenderung mengunjungi pasar tradisional. Predikat
negatif dilatarbelakangi oleh perilaku dari pedagang pasar, pengunjung atau pembeli
dan pengelola pasar. Pasar sentral Sengkang Kabupaten Wajo merupakan pasar
tradisional yang disediakan oleh pemerintah daerah telah turut menyumbangkan
pendapatan asli daerah.
Selain sebagai tempat mendapatkan
barang kebutuhan pokok oleh mayoritas penduduk yang terjangkau harganya, pasar
tradisional merupakan indikator nasional dalam pergerakan tingkat kestabilan
harga atau inflasi domestic yang dicatat oleh lembaga terkait seperti Dinas
Perdagangan dan Statistik. Pasar tradisional juga masih menjadi media interaksi
sosial yang kuat dalam masyarakat dan mekanisme transaksinya menggunakan metode
tawar-menawar. Pasar tradisonal merupakan tempat kumpulan para pengusaha dan
calon pengusaha menggunakan modal sendiri dalam memulai usahanya (Anonim,
2012).
Kekuatan pasar tradisional dapat
dilihat beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut diantaranya harganya lebih murah
dan bisa ditawar, dekat dengan permukiman dan memberikan banyak pilihan produk
yang segar. Kelebihan lainnya adalah pengalaman berbelanja yang luar biasa,
dimana kita bisa melihat dan memegang secara langsung produk yang umumnya masih
sangat segar.
Latar belakang orang Wajo yang dikenal
memiliki jiwa enterpreneurship yang tinggi berdampak pada tingginya motivasi
mereka untuk mengembangkan usaha mereka yang berdampak pada tingginya
persaingan para pedagang khususnya
pedagang pasar sentral Sengkang dengan beragam cara sehingga mereka dapat
memperoleh hasil maksimal sesuai harapannya. Berdasarkan penelitian Lembaga
Penelitian SMERU (Rahayubudi, 2013) terhadap pasar-pasar tradisional di kawasan
Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi serta Bandung diperoleh informasi bahwa
pesaing terberat dari para pedagang pasar tradisional adalah sesama pedagang di
dalam pasar, kemudian diikuti dengan berturut-turut supermarket dan para
Pedagang Kaki Lima (PKL).
Banyak kajian yang menyebut pasar tradisional kini
mengalami ancaman serius dari penetrasi dan ekspansi pusat perbelanjaan serta
retail modern. Yang secara umum terdesaknya para pedagang pasar tradisional
atau toko-toko lokal lainnya, disebabkan dalam bentuk menurunya omset penjualan
barang dagangan. Namun sayangnya sampai dengan saat ini pun belum ada upaya
serius dari berbagai banyak pihak, terutama dari pemerintah untuk
mengantisipasi hal tersebut.
Dengan adanya penetrasi pasar modern secara makro
ekonomi, tidak saja dapat mengancam pelaku pasar tradisional, tetapi termasuk
juga kepelaku ekonomi pada sektor-sektor lainnya. Dari kondisi struktur
perdagangan itu, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi persaingan usaha di
Indonesia makin mengarah pada pola monopoli/oligopoli sebagai pengaruh daripada
globalisasi ekonomi pasar bebas.
Kenyataan di Kabupaten Wajo dan khususnya kota Sengkang
bahwa pusat perbelanjaan seperti swalayan telah ada sejak lama namun dikelola
oleh warga lokal. Pada tahun 2012 maka kota sengkang bahkan beberapa kecamatan
di kabupaten Wajo kini telah ada swalayan yang lebih modern.
Berdasarkan hal ini maka bagaiman keadaan pedagang
pasar sentral sengkang sebagai pelaku ekonomi menghadapi persaingan dengan
pelaku pasar modern dan langkah-langkah apa yang mereka tempuh untuk mengatasi hal tersebut? Kebijakan apa
yang harus ditempuh Pemerintah Kabupaten Wajo agar pasar tradisional tetap
eksis?
B.
Kerangka Teoritis
1.
Filosofi
Kabupaten Wajo
Dalam
buku kabupaten Wajo dalam Angka 2012 tercantum bahwa masyarakat Wajo telah memiliki filosofi
pemerintahan dan kemasyarakatan yang tercermin pada kedalaman kearifan budaya
dan moral masyarakat Wajo
sejak 600 tahun yang lalu yaitu sejak
Wajo
lahir pada tanggal 29 maret 1399.
Filosofi tersebut terungkap dalam
tiga kata yang selanjutnya disebut dengan filosofi 3 S, yaitu Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge. Filosofi ini menjadi satu
tatanan yang terpisahkan satu sama lain (Anonim, 2012).
Filosfi 3 S selanjutnya diuraikan
sebagai berikut:
1.
Sipakatau (saling memanusiakan)
a. Menghormati
harkat dan martabat kemanusian seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa
b.
Semua makhluk disisi Tuhan
Yang Maha Esa adalah sama, yang membedakan
adalah keimanan dan ketakwaan
2.
SipakalebbiI (saling
memuliakan /menghargai)
a.
Menghargai posisi dan fungsi
masing-masing di dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan
b.
Yang muda menghormati yang
tua, dan yang tua menyayangi yang mudah,yang sederajat saling menghormati dan
menyayangi.
c.
Berprilaku dan berbicara sesuai
norma (baik) yang di junjung tinggi oleh masyarakat dan pemerintah.
3.
Sipakainge (saling
mengingatkan / demokrasi)
a.
Menghargai nasehat, saran, kritikan,
posisi, dari siapapun
b.
Pengakuan bahwa manusia adalah
tempatnya kekurangan dan kekhilafan.
c.
Aparatur pemerintah dan masyarakat
tidak lupuk dari kekurangan, kekhilafan dan diperlukan ke arifan untuk saling
mengingatkan dan menyadarkan melalui mekanisme yang tidak lepas dari
kearifan Sipakatau dan Sipakalebbi.
2.
Kondisi Geografis Kabupaten
Wajo
a.
Letak
geografis
Secara geografis, Kabupaten Wajo
terletak pada posisi 30 390-40 16’
Lintang Selatan dan 1190530-120027 Bujur
Timur, merupakan daaerah yang terletak ditengah-tengah Provinsi Sulawesi Selatan
dan pada zone tengah yang merupakan suatu depresi yang memanjang pada arah laut
tenggara dan terakhir merupakan suatu selat. Batas wilayah Kabupaten Wajo
adalah :
a.
Sebelah
Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidenreng Rappang.
b.
Sebelah
Timur berbatasan dengan Teluk Bone.
c.
Sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng.
d.
Sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Sidrap.
Luas wilayahnya adalah 2.506,19 Km2
atau 4,01% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dengan rincian penggunaan lahan
terdiri dari lahan sawah 87.975 ha (35.10%) dan lahan kering 162.644 ha (64.90%).
Sampai dengan akhir tahun 2011 wilayah
Kabupaten Wajo tidak mengalami pemekaran, yaitu tetap terbagi menjadi 14
wilayah Kecamatan. Selanjutnya dari keempat-belas wilayah Kecamatan tersebut,
wilayahnya dibagi lima menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil yang disebut
desa atau kelurahan. Tetap sama dengan kondisi pada tahun 2008, wilayah
Kabupaten Wajo terbentuk dari 48 wilayah yang berstatus Kelurahan dan 128
wilayah yang berstatus Desa. Jadi secara keseluruhan, wilayah Kabupaten Wajo
terbagi menjadi 176 desa/kelurahan.
b.
Kondisi
alam
Kondisi
topografi di Kabupaten Wajo mempunyai kemiringan lahan cukup bervariasi mulai
dari datar, bergelombang hingga berbukit. Sebagian besar wilayahnya tergolong
datar dengan kemiringan lahan/lereng 0 – 2 % luasnya mencapai 212,341 Ha atau
sekitar 84 %, sedangkan lahan datar hingga bergelombang dengan kemiringan / lereng
3 – 15 % luas 21,116 Ha (8,43%), lahan yang berbukit dengan kemiringan / lereng
diatas 16 – 40 % luas 13,752 Ha (5,50 %) dan kemiringan lahan diatas 40 %
(bergunung) hanya memiliki luas 3,316 Ha (1,32%).
3. Kondisi
Demografis Kabupaten Wajo
Penduduk daerah di Kabupaten Wajo
tahun 2011 sebanyak 386.173 jiwa, dan terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak
185.148 jiwa dan penduduk perempuan 203.025 jiwa. Berdasarkan data penduduk ini
sex raxio penduduk Kabupaten Wajo pada tahun 2011 sebesar 91,19 persen dan rata-rata
laju pertumbuhan penduduknya dari tahun 2005 sampai 2011 sekitar 0,72 persen.
Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo sebesar 154 jiwa/km2 dan hampir
99,4 persen beragama Islam.
Seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk, maka kepadatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan
penduduk Kabupaten Wajo pada tahun 2010 sebesar 154 jiwa per km2.
Kepadatan tertinggi terdapat di kecamatan tempe dengan luas wilayah terkecil
yaitu sebesar 1,597.10 per km2 , sedangkan kecamatan Keera dengan
luas wilayah terbesar justru memiliki kepadatan terkecil yaitu sebesar 59.00
jiwa per km2.
4. Definisi Pasar Tradisional
Pasar
tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai
dengan adanya transaksi penjual dan pembeli secara langsung. Dalam pasar
tradisional terjadi proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari
kios-kios atau gerai, los dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu
pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan
makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang
elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan
barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia,
dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk
mencapai pasar (Wikipedia, 2013).
Dalam ilmu ekonomi, pengertian pasar lebih
dititikberatkan pada kegiatan jual belinya. Pasar dapat terbentuk di mana saja
dan kapan saja (Kafrawi. 2012)
Syarat-syarat terbentuknya pasar:
1. Adanya penjual
2. Adanya pembeli
3. Adanya barang atau jasa yang
diperjualbelikan
4. Terjadinya kesepakatan antara
penjual dan pembeli
Pasar dimana para pembeli dan para penjual melakukan
interaksi dapat dibedakan menjadi pasar komoditas dan pasar faktor. Pasar
komoditas adalah interaksi anatara para pembeli dan paa penjual dari suatu
komoditas dalam menentukan jumlah dan harga barang atau jasa yang
diperjualbelikan. Sedangkan pasar faktor adalah interaksi antara para pengusaha
(pembeli faktor-faktor produksi) dengan para pemilik faktor produksi untuk
menentukan harga (pendapatan) dan jumlah faktor-faktor produksi yang akan
digunakan dalam menghasilkan barang dan jasa yang diminta masyarakat.
Pasar sendiri memiliki tiga fungsi, yaitu: fungsi
distribusi, fungsi pembentukan harga, dan fungsi promosi. Sedangkan menurut
fisiknya, janis pasar dibedakan ke dalam pasar konkret dan pasar abstark. Pasar
konkret merupakan tempat pertemuan antara pembeli dan penjual untuk melakukan
transaksi secara langsung. Barang yang dijual belikan juga tersedia di pasar
tersebut. Sedangkan pasar abstrak merupakan pasar tidak nyata dimana transaksi
antar penjual dan pembeli hanya dilakukan melalui telepon, internet, dll
(Septian, 2012).
Padalah pasar yang dalam pelaksanaannya bersifat
tradisional dan ditandai dengan pembeli serta penjual yang bertemu secara
langsung. Proses jual-beli biasanya melalui proses tawar menawar harga, dan
harga yang diberikan untuk suatu barang bukan merupakan harga tetap, dalam arti
lain masih dapat ditawar, hal ini sangat berbeda dengan pasar modern.
Umumnya, pasar tradisional menyediakan bahan-bahan
pokok serta keeprluan rumah tangga. Lokasi pasar tradisional dapat berada
ditempat yang terbuka atau bahkan dipingir jalan. Ciri khas pasar tradisional
adalah adanya tenda-tenda tempat penjual memasarkan dagangannya, serta pembeli
yang berjalan hilir mudik untuk memilih dan menawar barang yang akan dibelinya.
Ciri-ciri
pasar tradisional adalah proses
jual-beli melalui tawar menawar harga, barang yang disediakan umumnya barang
keperluan dapur dan rumah tangga, harga yang relatif lebih murah, area yang
terbuka dan tidak ber-AC
5. Profil
Pasar Sentral Sengkang
Pasar sentral dibangun berlantai 3 di
atas areal 120 x 50 meter. Bagunan ini terdiri atas 867 kios, 120 los, 4
pelataran, 1 mesjid, 1 ruang kantor pengelola pasar, 1 kantor koperasi.
Demikian pula dilengkapi sarana umum seperti WC, dan tempat parkir .
Jenis-jenis komoditas dagangan yang
paling dominan dan memempati areal yang luas adalah pakaian jadi, sandal dan sepatu,
barang pecah belah. Komoditi seperti ayam potong, barang campuran, bahkan bahan
makanan pokok dan sayuran hanya menempati areal sempit karena jumlah pedagang
juga sedikit.
C. Metode
Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data tentang
pasar sentral Sengkang, maka penulis melakukan survei dan wawancara dengan
Kepala Pengelola Pasar, pemilik kios dan los yang penulis pilih secara
purposive sampling.
D.
Hasil dan Pembahasan
Sengkang yang
merupakan Ibu Kota Kabupaten Wajo letaknya kurang lebih 250 km dari Makassar
Ibukota Provinsi SUlawesi Selatan sejak dulu dikenal sebagai kota niaga karena
masyarakatnya yang sangat piawai dalam berdagang. Berbagai macam kebutuhan
hidup seperti pakaian, sepatu, tas, barang elektronik, kain dan kain sarung
bahkan kebutuhan pokok lainnya konon memiliki harga yang relatif murah jika
dibandingkan di daerah lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika Sengkang
menjadi salah satu kota dengan perputaran ekonomi yang sangat tinggi di
Sulawesi Selatan. Hal ini tidak lepas dari peran kota Sengkang sebagai kota
lalu lintas perdagangan sejak jaman dulu (Naing dkk, 2008)
Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan Kepala
pengelola pasar sentral Sengkang wawancara A. Ashar bahwa dari 867 kios yang
tersedia, yang terpakai 617 kios. Demikian pula los, dari 120 yang tersedia,
terpakai 110. Dari keterangan kepala pengelola pasar bahwa jumlah pedagang
dengan jenis komoditas yang diperdagangkan tidak tersedia secara rinci sehingga
untuk mengidentifikasi jenis-jenis komoditi yang ada dipasar sentral tidak
dapat diperoleh. Namun lebih lanjut A. Ashar menambahkan bahwa jenis komoditi
yang paling banyak adalah pakaian jadi,diikuti pedagang sepatu dan sandal, kain
sutera, diikuti barang pecah belah, ayam potong, bahan campuran, ikan, dan terakhir sayur mayur.
Tenaga kerja yang terserap di pasar sentral Sengkang
didominasi oleh perempuan dengan umur minimal 12 tahun. Setiap kios minimal
mempekerjakan 2 orang penjaga, sedangkan los 1 orang untuk hari biasa. Namun
jika menjelang hari raya maka jumlah tenaga kerja yang terserap untuk setiap
kios bisa mencapai 4 orang. Jadi jumlah tenaga kerja setiap hari 1344 orang.
A. Ashar menyatakan
bahwa di dalam pasar sentral Sengkang
telah terjadi pelanggaran ketenagakerjaan karena adanya pekerja dibawah
15 tahun yang bekerja. Hal ini karena tuntutan ekonomi keluarga dan para
pemilik kios/pedagang tidak memiliki persyaratan ketika merekrut pekerjanya.
Hasil wawancara penulis dengan pemilik kios “stand
Zuhri” bahwa
“ komoditi yang paling dominan di
pasar sentral ini adalah pakaian jadi hampir 50%. Baik pakaian orang dewasa
maupun anak-anak. Demikian pula jenis tekstil lainnya seperti sutera, brokat
dll.”
Lebih lanjut pemilik kios “Stand Zuhri” menyatakan bahwa
“ untuk memenuhi permintaan pasar, kami biasa dua kali dalam satu bulan
langsung berbelanja ke Jakarta. Hal ini menjadikan pasar sentral Sengkang telah
menjadi pusat belanja pakaian jadi, sutera dan bahan tekstil lainnya. Selain
dikunjungi oleh masyarakat kabupaten Wajo juga dari masyarakat dari kabupaten
Soppeng, Bone, Sidrap, bahkan dari Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan
Timur. Hal ini membuat kami para pedagang semakin giat mencari model yang baru.
Bahkan untuk berbelanja model-model baru di Jakarta telah terjadwal setiap hari
Senin dan Kamis akan ada model baru. Jika tidak sempat langsung ke Jakarta,
maka kami memanfaatkan fasilitas telepon “BB” dengan langganan kami. Jadi kami
hanya transfer uang dan menunggu barang yang telah dipesan.”
Masuknya swalayan di kota Sengkang dengan konsep
modern telah membawa pula dampak negatif
terhadap keadaan pasar sentral Sengkang. Hal ini terlihat dari 250 kios
yang tidak terpakai khususnya berdampak pada komoditi bahan campuran namun
tidak berdampak pada pedagang komoditi sandang. Bahkan untuk jenis kain sutera
menurut pemilik “Stand Sutera Indah” bahwa;
“setelah terjadinya kelesuan perdagangan sutera, kini sutera telah kembali menjadi
jualan utama yang diminati masyarakat karena kain sutera yang dihasilkan oleh
rumah produksi sutera tidak lagi ketinggalan jaman, namun telah mengikuti trend
mode saat ini, kain sutera bukan lagi hanya dapat dibuat menjadi sarung namun
dapat menjadi berbagai produk sesuai dengan keinginan pembeli.”
Industri pertenunan sutera
merupakan kegiatan yg paling banyak di geluti oleh pelaku persuteraan di
Kabupaten Wajo, Hal ini di latar belakangi oleh prodik kain setera yang di
hasilkan mempunyai nilai kegunaan yang di padukan dengan nilai estetika budaya setempat.
Perpaduan nilai tersebut menghasilkan kerakteristik yang tersendiri yang
mencirikan produk kain sutera khususnya sarung khas Sengkang ( lipa “ sabbe to
sengkang = sarung sutera Sengkang).
Dalam perkembangannya
pengrajin pertenunan Sutera bukan saja menghasilkan kain sarung tetapi sudah
mampu memproduksi produk kain lain seperti kain motif teksture dalam bentuk
kain puth dan warna, maupun kain yang di tenun dengan memadukan benang Sutera
dengan bahan serat lainnya sehingga memberikan banyak pilihan bagi para peminat
produk sutera. Sayangnya, hingga kini, produk natural yang membanggakan ini
masih terganjal masalah pemasaran. Umumnya, barang-barang istimewa ini
dijajakan oleh para perajinnya di pasar-pasar tradisional. Selebihnya, tak ada
pilihan lain, kain-kain istimewa itu dijual dengan harga murah kepada pengusaha
lokal. Para pengusaha itu yang kemudian mengeruk keuntungan besar dengan
mamasarkannya ke mancanegara.Harga kain pun melambung, namun keuntungan besar
didapat oleh pemodal.
Persaingan pedagang di pasar
sentral Sengkang dengan swalayan yang semain marak tidak lantas membuat mereka
surut langkah dalam berusaha dikarenakan orang Wajo dalam sejarah hampir tak ada negeri yang tidak didatangi orang Wajo. Sampai ke ujung
duniapun asalkan ada peluang bisnis dan iklim yang menjamin kebebasan berusaha
orang Wajo akan datang. Perumpamaan itu tak lain untuk menunjukkan betapa sifat
ke wiraswastaan (interpreneurship) telah mendarah daging pada setiap pribadi
orang Wajo.Sifat ini dituntun pesan leluhur : aja mumaelo natunai sekke,
naburuki labo (jangan terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat boros).(Anonim,
2012).
Berpegang pada Tellu Ampikalena To WajoE (tiga prinsip
hidup), tau'E ri DewataE, siri'E ri padatta rupatau, siri'E ri watakkale
(ketaqwaan kepada Allah SWT, rasa malu pad orang lain dan pada diri sendiri),
orang Wajo memiliki etos kerja, resopa natinulu natemmangingngi, namalomo
naletei pammase Dewata Seuwae (hanya dengan kerja keras, rajin, dan ulet,
mendapat keridhaan Allah SWT).
Jika dibandingkan dengan statistik Badan Pusat Statistik
Kabupaten Wajo tahun 2011 maka sektor pertanian menempati 38,65 persen
menunjang roda ekonomi kabupaten Wajo kemudian diikuti oleh sektor perdagangan
sebesar 21,78%. Hal ini sesuai dengan persentase penduduk angkatan kerja yang
bekerja menurut lapangan pekerjaan utama kabupaten Wajo yang dilakukan oleh
Susenas 2011 yakni 18,06% menggeluti sektor perdagangan.
Dalam konteks kehidupan masyarakat modern seperti
sekarang, ukuran (kriteria) keberhasilan usaha seseorang tentu saja ditakar
melalui kategori usaha yang lain pula. Sebut saja keberhasilan seseorang
sekarang, dilihat dari aspek kepemilihan usaha (alat produksi) yang dikelola
sendiri. Demikian pula operasionalnya, menggunakan (melibatkan) tenaga anak sendiri
atau keluarga dekat. Kecenderungan memilih tenaga kerja yang berasal dari
lingkungan keluarga sendiri, tentu tidak hanya refleksi dari falsafah hidup
atau pesan pendahulu. Akan tetapi, mereka telah menyadari pentingnya
pengkaderan atau pewarisan jiwa usaha kepada keturunan demi kontinuitas jenis
usaha yang ditekuni.
Pentingnya usaha dan kerja keras untuk memperoleh
hasil (rezeki), telah dikemukakan sejak masa Puang Ri Magalatung, Matoa Wajo
(1491-1521), bahwa: “rezeki berasal dari Tuhan, tetapi rezeki itu haruslah
dicari”. Karena itu, tidak heran jika di kalangan orang Bugis, memiliki sebuah
motto yang hingga kini masih terus didengungkan yakni: “resopa
temmangingi namallomo naletei pammase dewata” Ungkapan ini bermakna
“hanya kerja keras dan sungguh-sungguh yang mendapat rahmat dari dewata/yang
maha kuasa”.
Prinsip kerja keras tersebut, juga dikawal oleh pesan
leluhur lain berbunyi: “aja mumaelo natunai sekke, naburuki labo” (jangan
terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat boros). Karena itu, Orang Bugis
Wajo pada umumnya memegang pada prinsip Tellu Ampikalena To
Wajo,E (tiga prinsip hidup) yaitu: Tau’E ri Dewata, siri’E
ripadata rupatau, siri’E watakkale (Ketakwaan pada Allah SWT, rasa
malu pada orang lain dan pada diri sendiri). Zulkifli. (2013).
Dalam pemenuhan moodal bagi orang Wajo, sejak Arung
Matowa La Salewangeng berkuasa, telah berupaya menghidupkan iklim yang sehat
untuk berinvestasi. Untuk itu, dibuatlah “Geddong” yaitu semacam koperasi
tempat simpan pinjam, dimana rakyat diberi modal untuk berusaha baik didalam
dan diluar Wajo. Akibatnya adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat Wajo.
Dengan demikian, terjadi penguatan ekonomi pada lapis menengah, sehingga
ketimpangan sosial antara kelas bangsawan dan tau maradeka menjadi tipis bahkan
hilang pada saat ini. Secara simpel bisa dikatakan awal dari pelekatan istilah
“padangkang” pada orang Wajo dimulai pada era ini (Anonim, 2011).
Untuk dapat mempertahankan keberadaan pasar sentral
Sengkang, maka pemerintah kabupaten Wajo:
1. Membuat program khusus yang menjadikan pasar sentral
Sengkang sebagai pusat grosir pakaian jadi dan sutera.
2.
Melakukan
pendataan secara berkala tentang jumlah pedagang dan jenis komoditi yang ada di
pasar sentral Sengkang
3.
Memberikan
pembinaan yang lebih intensif kepada pengrajin sutera dan kesempatan yang
memdahkan untuk mengembangkan usaha.
4. Melakukan pelatihan pendidikan lingkungan bagi para
pedagang pasar sentral Sengkang agar dapat menciptakan lingkungan pasar yang
bersih dan nyaman bebas dari kesan kumuh
5. segera membuat Perda yang mengatur pasar modern
diantaranya zona dan jarak minimum lokasi swalayan dengan pasar, pembatasan
jumlah swalayan, pembatasan jam kerja, sangsi bagi yang melanggar.
E. Kesimpulan
Pedagang pasar sentral Sengkang Kabupaten Wajo telah
mengalami dampak persaingan dengan masuknya pasar modern (swalayan) khususnya
bagi pedagang campuran. Adapun pedagang yang menjual komoditi seperti sutera,
pakaian jadi, sepatu dan sandal, belum terkena dampaknya.
Ucapan
Terima Kasih
Terima kasih yang tak terhingga
penulis haturkan kepada Bapak Professor Dr. Sapto Haryoko atas bimbingan dan
arahannya kepada penulis yang masih mengikuti matrikulasi namun telah diberi
kesempatan menuangkan ide menulis karya ilmiah. Tak lupa penulis sampaikan
terima kasih kepada seluruh rekan-rekan peserta matrikulasi S3 PKLH 2013 yang selalu
kompak dan bersemangat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim,
2012. Kabupaten Wajo dalam Angka 2012. Sengkang:Agung
Anonim.2011.
relevansi nilai lokal bugis wajo dalam pembangunan
Anonim, 2012. Adat Pernikahan Di
Wajo Sulawesi Selatan. http://penamerah28.blogspot.com 13 Juli 2013
Kafrawi Asmil. 2012. Pengertian ,
Fungsi, Bentuk dan Peranan Pasar. http://bozzkaf.blogspot.com. 13 Juli 2013
Rahayubudi, 2013. Kapan Pelanggan
Tiddak meninggalkan pedagang tradisonal. http://pasarkutradisional.blogspot.com. 13 Juli 2013
Rangga Septian. 2012. Pengertian
Pasar dan Pemasaran http://septianranggaa.blogspot.com/2012/12/14 Juli 2013
Naig, Naidah dkk, 2008. Wajo dalam
Perspektif Arsitektur. Pustaka Refleksino.
http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/22/relevansi-nilai-lokal-bugis-wajo-dalam-pembangunan-349452.html
Zulkifli. 2013.
Falsafah Hidup Orang Bugis. http://dunia-kampus-sanggar-seni-panrita.blogspot.com . 13 Juli 2013